Senin, 25 Mei 2015

LAHIRNYA NASIONALISME JEPANG

Posted By: Ana hovian - 03.26

Biografi RA Kartini – Pahlawan Wanita Indonesia RA Kartini Ibu kita Kartini... Putri Sejati... Putri Indonesia Harum Namanya Wanita harus pandai, berpendidikan dan berfikiran maju, tetapi harus tahu kepandaiannya itu untuk apa, bukan untuk bersaing dengan kaum pria tetapi justru bersinergi dengan suaminya dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Guna melahirkan generasi Islam dan generasi muda penerus bangsa yang tangguh, cerdas serta tak terkalahkan oleh bangsa lain. Sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju, kuat dan makmur. Itulah inti ajaran dan pemikiran Kartini yang terkenal dengan emansipasi wanita. Assalamualaikum teman-teman... Gimana kabarnya? Alhamdulillah semua baik-baik saja. Eh aku mau nanya nich, semua pasti tau khan lagu diatas? Ya iyalah pasti tahu. Dari anak TK sampai kakek nenek pasti hapal diluar kepala. Yup itu adalah lagu Ibu Kita Kartini yang sangat termashur. Kali ini aku akan menulis sejarah RA Kartini secara lengkap. Pastinya semua perempuan Indonesia merasa berhutang budi pada beliau, jika tidak ada ibu RA Kartini mungkin semua perempuan Indonesia sampai saat ini masih sangat terbelakang. Kegiatannya hanya meliputi 3R saja yaitu dapur, sumur, kasur. Karena RA Kartini-lah perempuan Indonesia bisa bersekolah sampai setinggi-tingginya. Karena beliau derajat perempuan Indonesia bisa sama dengan laki-laki. Dahulu, khususnya masyarakat jawa menganggap perempuan hanya sebagai pendamping hidup kaum adam. Tidak boleh belajar baca tulis, tidak boleh memegang peran di masyarakat. Intinya mereka hanya mengurus suami, anak dan rumah. Walau begitu mereka semua menerima saja ‘nriman’. Tak terpikir pada mereka jika hal itu dibiarkan terus maka akan menjadi kebodohan bagi diri mereka sendiri yang pada akhirnya juga menjadi kebodohan bagi bangsa ini karena wanita adalah tiang negara. Jika cerdas wanita maka cerdas pula negara, tetapi jika bodoh wanita maka bodoh negara. Mengapa bisa begitu? Apa kaitannya. Tentu saja sangat erat, bukankah wanita-lah yang melahirkan dan mendidik generasi penerus bangsa. Orang tua RA Kartini-pun menganut budaya kolot seperti itu. RA Kartini dilahirkan pada tanggal 21 April 1879 di Jepara Jawa Tengah. RA Kartini adalah anak dari bangsawan Jawa yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara Jawa Tengah yang masih ada keturunan dengan Sri Sultan Hamengkubuwana VI. Sedangkan ibunya bernama M.A.Ngasirah, anak dari pasangan Nyai Hajah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono yang berprofesi sebagai guru agama di Telukawur, Jepara. Berarti Raden Ajeng Kartini adalah keturunan seorang priyayi. Karena anak dari bangsawan Jawa, RA Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School) tetapi hanya sampai usia 12 tahun. Akan tetapi ini tidak berlaku bagi perempuan rakyat biasa. Beruntunglah Kartii bisa berbahasa Belanda, membaca dan menulis. Saat usia 12 tahun Kartini tidak diperbolehkan lagi bersekolah. Ia harus tinggal dirumah karena harus di pingit. Tetapi Kartini tidak putus asa. Walau di rumah, beliau tetaplah belajar membaca dan menulis. RA Kartini memiliki banyak teman wanita yang berkebangsaan Belanda, salah satunya adalah Rosa Abendanon. Kartini sering berkirim surat dengannya. Dari nyalah Kartini mengerti pola berfikir wanita Belanda yang jauh lebih maju. Kartini juga sering membaca koran, buku dan majalah yang menulis tentang kemajuan berfikir masyarakat Eropa, khususnya perempuan. Dari situlah Kartini mulai berfikir untuk mengangkat derajat kaumnya yaitu perempuan Indonesia, tidak peduli rakyat biasa atau bangsawan. Semua perempuan Indonesia harus sekolah, harus bisa membaca dan menulis sama seperti kaum lelaki. Selain membaca koran dan majalah, RA Kartini juga sering mengirim tulisannya serta hasil pemikirannya ke majalah tersebut. Banyak tulisan Kartini yang dimuat di surat kabar itu. Kartini juga sering bertukar pikiran dengan teman-teman perempuannya melalui surat. Dan semua temannya mendukung pemikirannya. Sekolah Kartini Pada tanggal 12 November 1903 Kartini dinikahkan oleh orangtuanya dengan seorang bupati Rembang yang bernama K.R.M. Adipati Aro Singgih Jojo Adhiningrat. Kartini adalah perempuan yang cerdas. Ia lalu mengutarakan pemikirannya itu ke suaminya untuk mengangkat derajat kaumnya dengan mendirikan sekolah perempuan. Suaminya adalah orang yang bijak. Ia merestui dan mendukung keinginan istrinya. Sekolah Kartini ini menempati bangunan yang ada di timur pintu gerbang kompleks kantor bupati Rembang, saat ini berfungsi sebagai gedung pramuka. Disanalah Kartini mengumpulkan para wanita sekitar tak terkecuali dari kalangan rakyat biasa. I asendiri yang mengajari mereka membaca dan menulis. Mulai dari mengeja hhuruf, angka sampai bahasa Belanda. Bagi Kartini mendapatkan pendidikan adalah hak setiap orang, tak peduli pria atau wanita. Tak peduli bangsawan atau rakyat biasa. Khususnya untuk wanita, perempuan adalah calon ibu. Ia nantinya yang akan mendidik anak-anaknya. Jika ibunya bodoh mana mungkin bisa menghasilkan keturunan yang pandai. Sebenarnya sebelum menikah, Kartini sempat mendapat beasiswa untuk bersekolah ke Belanda. Namun setelah dinasehati oleh Nyonya Abendanon yang merupakan sahabat pena Kartini, akhirnya Kartini memutuskan untuk sekolah di Betawi saja. Tetapi niat untuk bersekolah di Betawi pun pupus karena ia hendak dinikahkan. Banyak sahabat pena Kartini yang menyesal akan hal itu. Bahkan Kartini pun menuangkan penyesalannya lewat suratnya yang berbunyi "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Begitulah Kartini, ia memilih mematuhi orang tuanya untuk dinikahkan. Namun saat setelah menikah dan suaminya mendukung pemikirannya. Kartini menjadi sangat bersyukur. Betul, inilah yang terbaik. Ia bisa terus menyatakan buah pikirannya dengan mendirikan sekolah untuk wanita. Sayangnya umur RA Kartini tidaklah sepanjang pemikirannya. Pada usia 25 tahun tepatnya pada tanggal 13 September 1904 Kartini meninggal dunia saat melahirkan anak pertama dan terakhirnya yaitu Soesalit Djojoadhiningrat. Jasad Kartini dimakamkan di desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang Jawa Tengah. Saat ini Sekolah Kartini tidak hanya di Jawa Tengah saja, melainkan juga di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah-daerah lain di Indonesia. Setelah RA Kartini meninggal dunia, surat-surat Kartini dikumpulkan dan dibukukan oleh Nyonya Abendanon yang merupakan sahabat pena Kartini. Surat-surat tersebut diberi judul “Door Duisternis tot Licht” yang memiliki makna “Dari Kegelapan Menuju Cahaya” atau habis gelap terbitlah terang. Karena pemikirannya dan tindakan konkretnya walau belum tuntas itu Kartini diangkat menjadi Pahlawan Nasional dan hari lahirnya yaitu 21 April dijadikan sebagai hari Kartini yang merupakan hari libur nasional. Banyak dari kita memperingatinya dengan memakai baju daerah ke sekolah. Y a.. bolehlah itu. Asal jangan menghilangkan semangat RA Kartini dalam memperjuangkan hak-hak kaum wanita untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan kaum pria, demi tercapainya bangsa yang cerdas. Sebenarnya selain RA Kartini ada banyak lagi Pahlawan Nasional perempuan Indonesia seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Christina Marthatiahahu dan banyak lagi. Ada yang berjuang dengan senjata ada pula melalui pendidikan dan organisasi. Mereka semua memperjuangkan nasib Indonesia agar menjadi negara yang cerdas, merdeka, makmur dan maju. Kita semua patut berterima kasih pada mereka. Karena merekalah yang telah memperjuangkan Indonesia, juga termasuk memperjuangkan diri kita saat ini. Bayangkan aja jika tidak ada mereka, mungkin saat ini kita masih dijajah, kita masih terbelakang, kaum wanitanya bodoh-bodoh dan tentu saja generasi penerusnya juga bodoh-bodoh. Yang berarti bangsa ini juga masih terjajah, terbelakang dan bodoh. “Bangsa Yang Besar adalah Bangsa Yang Menghargai Jasa Para Pahlawannya”. Ayo kita semua bangsa Indonesia harus tahu diri dan tahu berterima kasih kepada para pahlawan kita dengan meneruskan perjuangan mereka memajukan Indonesia. Kartini dan Islam Kartini adalah anak keturunan bangsawan Jawa dari ayahnya dan anak keturunan Kyai dan Nyai (sebutan orang jawa untuk orang yang mengerti Islam). Tentu saja kehidupan Kartini sangat kental dengan Islam dan Jawa. Namun interaksi Kartini dengan Islam malah membuatnya hampir membenci Islam itu sendiri, karena dia mengenal Islam sebagai perpaduan dengan budaya Jawa yang dianggap sebagai Islam, bukan Islam yang murni dan benar. Pernah suatu ketika Kartini diwajibkan untuk menghafal Al Qur’an namun Kartini menyakan apa makna dari hapalan yang ia lakukan barusan. Guru mengajinya menjawab dengan kalimat “ Al Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan kedalam bahasa asing”. Tetapi jika ia malas menghapal Al Qur’an, maka ia akan dimarahi. Dongkollah hati Kartini mendengar jawaban guru ngajinya. Bagaimana mungkin ia harus menghafal kata demi kata kata dari Al Qur’an tanpa boleh ia tahu maksudnya. Bagaimana ia bisa memahami Al qur’an? Bagaimana ia bisa memahami Islam yang sebenarnya? Kehidupan RA Kartini dapat di golongkan kedalam tiga fase yaitu saat ia belia dimana ia semangat sekali menyuarakan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terutama dalam mendapat pendidikan yang setara. Fase kedua adalah saat beranjak dewasa yaitu ketika dia sadar bahwa bangsanya tengah dijajah oleh Belanda. Disitu baru ia menyadari bahwa teman pena yang selama ini ia percaya seperti Ny Abendanon dan lainnya tidaklah boleh sepenuhnya dianggap teman karena mereka berasal dari kaum penjajah. Dan fase ketiga adalah setelah pernikahannya sampai menjelang ajalnya, saat ia diberi hadiah Al Qur’an terjemahan bahasa Jawa oleh seorang Kyai, ia jadi sadar akan keindahan Al Qur’an dan ajaran Islam serta ia jadi sadar bahwa kemajuan masyarakat barat yang selama ini ia kagumi dan ia jadikan kiblat ternyata hanyalah omong kosong. Hal ini termaktub dalam surat-surat RA Kartini kepada teman-teman Belandanya seperti Ny Abendanon dan teman-teman penanya yang lain sebagai berikut. “Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899] “Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902] Suatu keberanian dan kekritisan yang luar biasa untuk ukuran zaman dahulu mempertanyakan tentang hal sedalam itu apalagi tentang Keyakinannya. Hal itu menunjukkan bahwa RA Kartini adalah wanita yang sangat cerdas dan berani. Suatu ketika Kartini mengikuti pengajian dirumah pamannya. Pengajian itu dibawakan oleh Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar (Kyai Sholeh Drajat). Pengajian itu membahas tentang terjemahan surat Al-Fatihah. Kartini sangat takjub dengan kandungan surat Al Fatihah yang begitu indah. Inilah yang dicari Kartini selama ini. Setelah pengajian berakhir, Kartini memberanikan diri untuk menemui Kyai Sholeh Drajat dengan ditemani pamannya yang tak lain adalah bupati Demak yaitu Pangeran Ario Hadiningrat. Pada Kyai Sholeh Drajat Kartini bertanya suatu hal. “Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?” Terheran Kyai Sholeh mendengar pertanyaan Kartini. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Ganti Kyai Sholeh bertanya. “Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” Mendengar jawaban Kartini tergugahlah hati Kyai Sholeh Drajat untuk menerjemahkan Al Qur’an dalam bahasa Jawa (Saat itu Bahasa Indonesia belum menjadi Bahasa persatuan sehingga tiap daerah lebih memahami jika menggunakan bahasa daerah masing-masing). Dan pada saat Kartini menikah, Kyai Sholeh Drajat menghadiahinya terjemahan Al Qur’an jilid 1 yaitu berisi 13 juz mulai dari surat Al Fatihah sampai surat Ibrahim. Sangat disayangkan sekali sebelum Kyai Sholeh menyelesaikan terjemahan Al Qur’annya, beliau keburu wafat. Dari terjemahan itulah Kartini mulai memperdalam Islam. Kartini semakin takjub akan kebenaran Islam. Dari orang yang meragukan kebenaran Islam dan lebih mengagung-agungkan peradaban barat, kini ia menjadi orang yang sangat mengagumi Islam dan mulai sadar bahwa barat adalah bukan suatu peradaban. Banyak kepincangan-kepincangan yang tersembunyi di situ. Hal ini tercermin dari surat-suratnya kemudian. “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban? [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902] “Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan. (surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 10 Juni 1902) Kartini juga sangat tidak menyukai praktek Kristenisasi yang waktu itu digalakkan hal ini tercermin dari surat kartini pada EE Abendanon tanggal 31 Januari 1903. Bahkan Kartini bertekad untuk memperbaiki citra Islam yang selama ini dijadikan sasaran fitnah bagi orang-orang barat. “Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]. Kartini juga menyampaikan penyesalannya selama ini salah menilai Islam. Hal ini terungkap dari surat-suratnya sebagai berikut. “Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang.” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 5 Maret 1902) “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah (Abdulloh).” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 1 Agustus 1903) “Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Alloh, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.” (surat Kartini kepada Nyonya Abandanon, 1 Agustus 1903) “Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia pun ia sebenar-benarnya bebas.” (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober 1900) Diantara ayat-ayat AlQur’an yang di pelajarinya, Kartini paling suka Surat Al Baqarah ayat 257 yang berarti ALLOH-lah yang membimbing jalan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Kartini sering sekali mengulang kalimat Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari kegelapan menuju cahaya, karena kalimat itu mewakili akan perjuangan dirinya selama ini. Dalam surat-suratnya Kartini sering mengulangi kata itu. Surat Kartini kebanyakan menggunakan bahasa Belanda. Kalimat Minazh-Zhulumaati ilan Nuur beliau tulis dengan bahasa Belanda pula yaitu Door Duisternis Tot Lich . Sayang sekali saat suratnya diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Armijn Pane kalimat Minazh-Zhulumaati ilan Nuur ditulis dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang” sehingga kehilangan makna yang sesungguhnya. Sehingga saat surat-suratnya dibukukan, surat Kartini dinamakan “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Sampai saat ini banyak orang Indonesia yang tidak tahu khususnya umat Muslim bahwa kata “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu asalnya dari kekaguman Kartini akan salah satu ayat Al Qur’an di surat Al Baqarah 257 yaitu kalimat Minazh-Zhulumaati ilan Nuur karena memang tidak pernah dibahas di pelajaran sekolah dan buku-buku sejarah. Mungkin takut membangkitkan kekaguman dan kebanggaan umat Islam terhadap agamanya, bisa jadi sejarah yang lain juga sengaja dikaburkan dan dipisahkan dari Islam, padahal kita semua tahu bahwa mayoritas warga negara Indonesia adalah orang Islam dan sejak dahulu perang melawan penjajah selalu dimotori oleh ulama-ulama dan para santrinya. Kebanyakan Pahlawan Nasional adalah ulama Islam seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pangeran Diponegoro, Sultan Agung, Pangeran Antasari dan banyak lagi. (Wallohualam bis showab). Berkaitan dengan perjuangan Kartini, Kartini adalah Pahlawan Wanita Indonesia sekaligus Pahlawan Nasional. Perjuangannya belumlah selesai. Kartini sudah berusaha keras keluar dari kungkungan adatnya. Ingat yang menjadikan kaum wanita sebelum Kartini terbelenggu adalah kungkungan adat yang begitu kental. Bukan karena ajaran Islam. Walaupun sebagian besar dari mereka menganut Islam namun mereka banyak yang belum faham arti dan makna kandungan Al Quran. Terbukti pada diri Kartini saat ia tahu makna AlQuran, Ia jadi sadar bagaimana seharusnya wanita berperan dalam kehidupan. Wanita harus pandai, berpendidikan dan berfikiran maju, tetapi harus tahu kepandaiannya itu untuk apa, bukan untuk bersaing dengan kaum pria tetapi justru bersinergi dengan suaminya dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Guna melahirkan generasi Islam dan generasi muda penerus bangsa yang tangguh, cerdas serta tak terkalahkan oleh bangsa lain. Sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju, kuatdan makmur. Itulah inti ajaran dan pemikiran Kartini yang terkenal dengan emansipasi wanita. Bukan seperti masyarakat barat yang memandang emansipasi wanita dengan menjadi saingan pria atau suami sehingga para wanita berlomba untuk bekerja di luar rumah. Berusaha menunjukkan bahwa dirinya kuat dan bisa mengalahkan pria bukanlah emansipasi wanita, tetapi malah menjerumuskan wanita itu sendiri. Wanita jadi kehilangan fitrahnya sebagai wanita, kehilangan sifat keibuannya, kehilangan sifat lemah-lembutnya. Dan akhirnya yang terjadi adalah banyak anak terbengkalai, banyak rumah tangga cerai karena salah tafsir akan arti emansipasi. Dan jika di runut maka yang akan terjadi adalah rusaknya masyarakat dan tentunya rusaknya bangsa. Naudzubillah. Biodata RA Kartini Nama : Raden Ajeng Kartini Raden Ayu Kartini RA Kartini Nama : Raden Ajeng Kartini Lahir : Jepara, 21 April 1879 Jawa Tengah Meninggal : Rembang, 17 September 1904 Jawa Tengah Dikenang Karena : Pemikirannya Untuk Memajukan Kaum Wanita Agama : Islam Suami : R.M.A.A Singgih Djojo Adhiningrat Ayah : Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara saat itu) Ibu : M.A Ngasirah

Posted By: Ana hovian - 03.14

Ads

Copyright © 2015

Distributed By My Blogger Themes | Designed By Templatezy