Biografi RA Kartini – Pahlawan Wanita Indonesia
Biografi RA Kartini – Pahlawan Wanita Indonesia
RA Kartini |
Putri
Sejati...
Putri
Indonesia
Harum Namanya
Wanita
harus pandai, berpendidikan dan berfikiran maju, tetapi harus tahu
kepandaiannya itu untuk apa, bukan untuk bersaing dengan kaum pria
tetapi justru bersinergi dengan suaminya dalam mendidik dan membesarkan
anak-anak mereka. Guna melahirkan generasi Islam dan generasi muda
penerus bangsa yang tangguh, cerdas serta tak terkalahkan oleh bangsa
lain. Sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju, kuat dan
makmur. Itulah inti ajaran dan pemikiran Kartini yang terkenal dengan
emansipasi wanita.
Assalamualaikum teman-teman...
Gimana kabarnya? Alhamdulillah
semua baik-baik saja. Eh aku mau nanya nich, semua pasti tau khan lagu diatas? Ya
iyalah pasti tahu. Dari anak TK sampai kakek nenek pasti hapal diluar kepala.
Yup itu adalah lagu Ibu Kita
Kartini yang sangat termashur. Kali ini aku akan menulis sejarah RA Kartini
secara lengkap.
Pastinya semua perempuan
Indonesia merasa berhutang budi pada beliau, jika tidak ada ibu RA Kartini
mungkin semua perempuan Indonesia sampai saat ini masih sangat terbelakang.
Kegiatannya hanya meliputi 3R saja yaitu dapur, sumur, kasur.
Karena RA Kartini-lah perempuan
Indonesia bisa bersekolah sampai setinggi-tingginya. Karena beliau derajat
perempuan Indonesia bisa sama dengan laki-laki.
Dahulu, khususnya masyarakat
jawa menganggap perempuan hanya sebagai pendamping hidup kaum adam. Tidak boleh
belajar baca tulis, tidak boleh memegang peran di masyarakat. Intinya mereka
hanya mengurus suami, anak dan rumah. Walau begitu mereka semua menerima saja
‘nriman’. Tak terpikir pada mereka jika hal itu dibiarkan terus maka akan
menjadi kebodohan bagi diri mereka sendiri yang pada akhirnya juga menjadi
kebodohan bagi bangsa ini karena wanita adalah tiang negara. Jika cerdas wanita
maka cerdas pula negara, tetapi jika bodoh wanita maka bodoh negara. Mengapa
bisa begitu? Apa kaitannya. Tentu saja sangat erat, bukankah wanita-lah yang
melahirkan dan mendidik generasi penerus bangsa.
Orang tua RA Kartini-pun
menganut budaya kolot seperti itu. RA Kartini dilahirkan pada tanggal 21 April
1879 di Jepara Jawa Tengah. RA Kartini adalah anak dari bangsawan Jawa yang
bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat,
bupati Jepara Jawa Tengah yang masih ada keturunan dengan Sri
Sultan Hamengkubuwana VI. Sedangkan ibunya bernama M.A.Ngasirah, anak dari
pasangan Nyai Hajah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono yang berprofesi sebagai
guru agama di Telukawur, Jepara. Berarti Raden Ajeng Kartini adalah keturunan
seorang priyayi.
Karena anak dari bangsawan
Jawa, RA Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School)
tetapi hanya sampai usia 12 tahun. Akan tetapi ini tidak berlaku bagi perempuan
rakyat biasa. Beruntunglah Kartii bisa berbahasa Belanda, membaca dan menulis.
Saat usia 12 tahun Kartini
tidak diperbolehkan lagi bersekolah. Ia harus tinggal dirumah karena harus di
pingit. Tetapi Kartini tidak putus asa. Walau di rumah, beliau tetaplah belajar
membaca dan menulis. RA Kartini memiliki banyak teman wanita yang berkebangsaan
Belanda, salah satunya adalah Rosa Abendanon. Kartini sering berkirim surat
dengannya. Dari nyalah Kartini mengerti pola berfikir wanita Belanda yang jauh
lebih maju. Kartini juga sering membaca koran, buku dan majalah yang menulis
tentang kemajuan berfikir masyarakat Eropa, khususnya perempuan. Dari situlah
Kartini mulai berfikir untuk mengangkat derajat kaumnya yaitu perempuan
Indonesia, tidak peduli rakyat biasa atau bangsawan. Semua perempuan Indonesia
harus sekolah, harus bisa membaca dan menulis sama seperti kaum lelaki.
Selain membaca koran dan
majalah, RA Kartini juga sering mengirim tulisannya serta hasil pemikirannya ke
majalah tersebut. Banyak tulisan Kartini yang dimuat di surat kabar itu.
Kartini juga sering bertukar pikiran dengan teman-teman perempuannya melalui
surat. Dan semua temannya mendukung pemikirannya.
Sekolah Kartini
Pada tanggal 12 November 1903
Kartini dinikahkan oleh orangtuanya dengan seorang bupati Rembang yang bernama
K.R.M. Adipati Aro Singgih Jojo Adhiningrat. Kartini adalah perempuan yang
cerdas. Ia lalu mengutarakan pemikirannya itu ke suaminya untuk mengangkat
derajat kaumnya dengan mendirikan sekolah perempuan. Suaminya adalah orang yang
bijak. Ia merestui dan mendukung keinginan istrinya.
Sekolah Kartini ini menempati
bangunan yang ada di timur pintu gerbang kompleks kantor bupati Rembang, saat
ini berfungsi sebagai gedung pramuka. Disanalah Kartini mengumpulkan para
wanita sekitar tak terkecuali dari kalangan rakyat biasa. I asendiri yang
mengajari mereka membaca dan menulis. Mulai dari mengeja hhuruf, angka sampai
bahasa Belanda.
Bagi Kartini mendapatkan
pendidikan adalah hak setiap orang, tak peduli pria atau wanita. Tak peduli
bangsawan atau rakyat biasa. Khususnya untuk wanita, perempuan adalah calon
ibu. Ia nantinya yang akan mendidik anak-anaknya. Jika ibunya bodoh mana
mungkin bisa menghasilkan keturunan yang pandai.
Sebenarnya sebelum menikah,
Kartini sempat mendapat beasiswa untuk bersekolah ke Belanda. Namun setelah dinasehati
oleh Nyonya Abendanon yang merupakan sahabat pena Kartini, akhirnya Kartini
memutuskan untuk sekolah di Betawi saja.
Tetapi niat untuk bersekolah di
Betawi pun pupus karena ia hendak dinikahkan. Banyak sahabat pena Kartini yang
menyesal akan hal itu. Bahkan Kartini pun menuangkan penyesalannya lewat
suratnya yang berbunyi "...Singkat dan
pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena
saya sudah akan kawin..."
Begitulah Kartini, ia memilih
mematuhi orang tuanya untuk dinikahkan. Namun saat setelah menikah dan suaminya
mendukung pemikirannya. Kartini menjadi sangat bersyukur. Betul, inilah yang
terbaik. Ia bisa terus menyatakan buah pikirannya dengan mendirikan sekolah
untuk wanita.
Sayangnya umur RA Kartini
tidaklah sepanjang pemikirannya. Pada usia 25 tahun tepatnya pada tanggal 13
September 1904 Kartini meninggal dunia saat melahirkan anak pertama dan
terakhirnya yaitu Soesalit Djojoadhiningrat. Jasad Kartini dimakamkan di desa
Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang Jawa Tengah.
Saat ini Sekolah Kartini tidak
hanya di Jawa Tengah saja, melainkan juga di Surabaya, Yogyakarta, Malang,
Madiun, Cirebon dan daerah-daerah lain di Indonesia.
Setelah RA Kartini meninggal
dunia, surat-surat Kartini dikumpulkan dan dibukukan oleh Nyonya Abendanon yang
merupakan sahabat pena Kartini. Surat-surat tersebut diberi judul “Door Duisternis tot Licht”
yang memiliki makna “Dari Kegelapan Menuju Cahaya” atau habis gelap
terbitlah terang.
Karena
pemikirannya dan tindakan konkretnya walau belum tuntas itu Kartini diangkat
menjadi Pahlawan Nasional dan hari lahirnya yaitu 21 April dijadikan sebagai
hari Kartini yang merupakan hari libur nasional. Banyak dari kita memperingatinya
dengan memakai baju daerah ke sekolah. Y a.. bolehlah itu. Asal jangan menghilangkan
semangat RA Kartini dalam memperjuangkan hak-hak kaum wanita untuk memperoleh
pendidikan yang sama dengan kaum pria, demi tercapainya bangsa yang cerdas.
Sebenarnya
selain RA Kartini ada banyak lagi Pahlawan Nasional perempuan Indonesia seperti
Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Christina Marthatiahahu dan banyak
lagi. Ada yang berjuang dengan senjata ada pula melalui pendidikan dan
organisasi. Mereka semua memperjuangkan nasib Indonesia agar menjadi negara
yang cerdas, merdeka, makmur dan maju.
Kita
semua patut berterima kasih pada mereka. Karena merekalah yang telah
memperjuangkan Indonesia, juga termasuk memperjuangkan diri kita saat ini.
Bayangkan aja jika tidak ada mereka, mungkin saat ini kita masih dijajah, kita
masih terbelakang, kaum wanitanya bodoh-bodoh dan tentu saja generasi
penerusnya juga bodoh-bodoh. Yang berarti bangsa ini juga masih terjajah,
terbelakang dan bodoh.
“Bangsa Yang Besar
adalah Bangsa Yang Menghargai Jasa Para Pahlawannya”. Ayo kita semua bangsa
Indonesia harus tahu diri dan tahu berterima kasih kepada para pahlawan kita
dengan meneruskan perjuangan mereka memajukan Indonesia.
Kartini dan Islam
Kartini
adalah anak keturunan bangsawan Jawa dari ayahnya dan anak keturunan Kyai dan
Nyai (sebutan orang jawa untuk orang yang mengerti Islam). Tentu saja kehidupan
Kartini sangat kental dengan Islam dan Jawa. Namun interaksi Kartini dengan
Islam malah membuatnya hampir membenci Islam itu sendiri, karena dia mengenal
Islam sebagai perpaduan dengan budaya Jawa yang dianggap sebagai Islam, bukan
Islam yang murni dan benar.
Pernah
suatu ketika Kartini diwajibkan untuk menghafal Al Qur’an namun Kartini
menyakan apa makna dari hapalan yang ia lakukan barusan. Guru mengajinya
menjawab dengan kalimat “ Al Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan kedalam
bahasa asing”. Tetapi jika ia malas menghapal Al Qur’an, maka ia akan dimarahi.
Dongkollah hati Kartini mendengar jawaban guru ngajinya. Bagaimana mungkin ia
harus menghafal kata demi kata kata dari Al Qur’an tanpa boleh ia tahu
maksudnya. Bagaimana ia bisa memahami Al qur’an? Bagaimana ia bisa memahami
Islam yang sebenarnya?
Kehidupan
RA Kartini dapat di golongkan kedalam tiga fase yaitu saat ia belia dimana ia
semangat sekali menyuarakan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
terutama dalam mendapat pendidikan yang setara. Fase kedua adalah saat beranjak
dewasa yaitu ketika dia sadar bahwa bangsanya tengah dijajah oleh Belanda.
Disitu baru ia menyadari bahwa teman pena yang selama ini ia percaya seperti Ny
Abendanon dan lainnya tidaklah boleh sepenuhnya dianggap teman karena mereka
berasal dari kaum penjajah. Dan fase ketiga adalah setelah pernikahannya sampai
menjelang ajalnya, saat ia diberi hadiah Al Qur’an terjemahan bahasa Jawa oleh
seorang Kyai, ia jadi sadar akan keindahan Al Qur’an dan ajaran Islam serta ia
jadi sadar bahwa kemajuan masyarakat barat yang selama ini ia kagumi dan ia
jadikan kiblat ternyata hanyalah omong kosong.
Hal
ini termaktub dalam surat-surat RA Kartini kepada teman-teman Belandanya
seperti Ny Abendanon dan teman-teman penanya yang lain sebagai berikut.
“Mengenai agamaku Islam,
Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya
mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena
nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak
mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh
diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti
bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa
yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi
tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau
mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi
tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi
orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah
begitu Stella?†[Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu
apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar
menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti
artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah
kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab
yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.
[Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902]
Suatu
keberanian dan kekritisan yang luar biasa untuk ukuran zaman dahulu
mempertanyakan tentang hal sedalam itu apalagi tentang Keyakinannya. Hal itu
menunjukkan bahwa RA Kartini adalah wanita yang sangat cerdas dan berani.
Suatu
ketika Kartini mengikuti pengajian dirumah pamannya. Pengajian itu dibawakan
oleh Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar (Kyai Sholeh Drajat). Pengajian itu
membahas tentang terjemahan surat Al-Fatihah. Kartini sangat takjub dengan
kandungan surat Al Fatihah yang begitu indah. Inilah yang dicari Kartini selama
ini.
Setelah
pengajian berakhir, Kartini memberanikan diri untuk menemui Kyai Sholeh Drajat
dengan ditemani pamannya yang tak lain adalah bupati Demak yaitu Pangeran Ario
Hadiningrat. Pada Kyai Sholeh Drajat Kartini bertanya suatu hal.
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila
seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”
Terheran
Kyai Sholeh mendengar pertanyaan Kartini.
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Ganti Kyai Sholeh bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan
arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan
sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku
heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras
penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu
justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Mendengar
jawaban Kartini tergugahlah hati Kyai Sholeh Drajat untuk menerjemahkan Al
Qur’an dalam bahasa Jawa (Saat itu Bahasa Indonesia belum menjadi Bahasa
persatuan sehingga tiap daerah lebih memahami jika menggunakan bahasa daerah
masing-masing). Dan pada saat Kartini menikah, Kyai Sholeh Drajat
menghadiahinya terjemahan Al Qur’an jilid 1 yaitu berisi 13 juz mulai dari
surat Al Fatihah sampai surat Ibrahim.
Sangat
disayangkan sekali sebelum Kyai Sholeh menyelesaikan terjemahan Al Qur’annya,
beliau keburu wafat.
Dari
terjemahan itulah Kartini mulai memperdalam Islam. Kartini semakin takjub akan
kebenaran Islam. Dari orang yang meragukan kebenaran Islam dan lebih
mengagung-agungkan peradaban barat, kini ia menjadi orang yang sangat mengagumi
Islam dan mulai sadar bahwa barat adalah bukan suatu peradaban. Banyak
kepincangan-kepincangan yang tersembunyi di situ.
Hal ini tercermin
dari surat-suratnya kemudian.
“Sudah
lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar
satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu
sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa
dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama
sekali tidak patut disebut sebagai peradaban? [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27
Oktober 1902]
“Kami
sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang
setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan. (surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 10 Juni 1902)
Kartini juga sangat
tidak menyukai praktek Kristenisasi yang waktu itu digalakkan hal ini tercermin
dari surat kartini pada EE Abendanon tanggal 31 Januari 1903. Bahkan Kartini
bertekad untuk memperbaiki citra Islam yang selama ini dijadikan sasaran fitnah
bagi orang-orang barat.
“Bagaimana
pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa
semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? Bagi orang
Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa
yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan
orang. Mungkinkah itu dilakukan?”
“Moga-moga
kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama
Islam patut disukai.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].
Kartini juga
menyampaikan penyesalannya selama ini salah menilai Islam. Hal ini terungkap
dari surat-suratnya sebagai berikut.
“Astaghfirullah,
alangkah jauhnya saya menyimpang.” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 5 Maret
1902)
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah (Abdulloh).” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 1 Agustus 1903)
“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Alloh, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.” (surat Kartini kepada Nyonya Abandanon, 1 Agustus 1903)
“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia pun ia sebenar-benarnya bebas.” (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober 1900)
Diantara ayat-ayat
AlQur’an yang di pelajarinya, Kartini paling suka Surat Al Baqarah ayat 257
yang berarti ALLOH-lah yang membimbing jalan manusia dari kegelapan menuju
cahaya. Kartini sering sekali mengulang kalimat Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari kegelapan
menuju cahaya, karena kalimat itu mewakili akan perjuangan dirinya selama ini.
Dalam surat-suratnya
Kartini sering mengulangi kata itu. Surat Kartini kebanyakan menggunakan bahasa
Belanda. Kalimat Minazh-Zhulumaati
ilan Nuur beliau
tulis dengan bahasa Belanda pula yaitu Door Duisternis Tot Lich . Sayang sekali saat suratnya diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu oleh Armijn Pane kalimat Minazh-Zhulumaati ilan Nuur ditulis dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”
sehingga kehilangan makna yang sesungguhnya.
Sehingga saat surat-suratnya dibukukan, surat Kartini dinamakan “Habis
Gelap Terbitlah Terang”.
Sampai saat ini
banyak orang Indonesia yang tidak tahu khususnya umat Muslim bahwa kata “Habis
Gelap Terbitlah Terang” itu asalnya dari kekaguman Kartini akan salah satu ayat
Al Qur’an di surat Al Baqarah 257 yaitu kalimat Minazh-Zhulumaati ilan Nuur karena memang tidak pernah dibahas di pelajaran
sekolah dan buku-buku sejarah. Mungkin takut membangkitkan kekaguman dan
kebanggaan umat Islam terhadap agamanya, bisa jadi sejarah yang lain juga sengaja
dikaburkan dan dipisahkan dari Islam, padahal kita semua tahu bahwa mayoritas
warga negara Indonesia adalah orang Islam dan sejak dahulu perang melawan
penjajah selalu dimotori oleh ulama-ulama dan para santrinya. Kebanyakan
Pahlawan Nasional adalah ulama Islam seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia,
Pangeran Diponegoro, Sultan Agung, Pangeran Antasari dan banyak lagi.
(Wallohualam bis showab).
Berkaitan dengan
perjuangan Kartini, Kartini adalah Pahlawan Wanita Indonesia sekaligus Pahlawan
Nasional. Perjuangannya belumlah selesai. Kartini sudah berusaha keras keluar dari
kungkungan adatnya. Ingat yang menjadikan kaum wanita sebelum Kartini
terbelenggu adalah kungkungan adat yang begitu kental. Bukan karena ajaran
Islam. Walaupun sebagian besar dari mereka menganut Islam namun mereka banyak
yang belum faham arti dan makna kandungan Al Quran. Terbukti pada diri Kartini
saat ia tahu makna AlQuran, Ia jadi sadar bagaimana seharusnya wanita berperan
dalam kehidupan. Wanita harus pandai, berpendidikan dan berfikiran maju, tetapi harus
tahu kepandaiannya itu untuk apa, bukan untuk bersaing dengan kaum pria tetapi
justru bersinergi dengan suaminya dalam mendidik dan membesarkan anak-anak
mereka. Guna melahirkan generasi Islam dan generasi muda penerus bangsa yang
tangguh, cerdas serta tak terkalahkan oleh bangsa lain. Sehingga bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang maju, kuatdan makmur. Itulah inti ajaran dan
pemikiran Kartini yang terkenal dengan emansipasi wanita.
Bukan seperti
masyarakat barat yang memandang emansipasi wanita dengan menjadi saingan pria
atau suami sehingga para wanita berlomba untuk bekerja di luar rumah. Berusaha
menunjukkan bahwa dirinya kuat dan bisa mengalahkan pria bukanlah emansipasi
wanita, tetapi malah menjerumuskan wanita itu sendiri.
Wanita jadi kehilangan fitrahnya sebagai wanita, kehilangan sifat keibuannya, kehilangan sifat lemah-lembutnya. Dan akhirnya yang terjadi adalah banyak anak terbengkalai, banyak rumah tangga cerai karena salah tafsir akan arti emansipasi. Dan jika di runut maka yang akan terjadi adalah rusaknya masyarakat dan tentunya rusaknya bangsa. Naudzubillah.
Biodata RA Kartini
Wanita jadi kehilangan fitrahnya sebagai wanita, kehilangan sifat keibuannya, kehilangan sifat lemah-lembutnya. Dan akhirnya yang terjadi adalah banyak anak terbengkalai, banyak rumah tangga cerai karena salah tafsir akan arti emansipasi. Dan jika di runut maka yang akan terjadi adalah rusaknya masyarakat dan tentunya rusaknya bangsa. Naudzubillah.
Biodata RA Kartini
Nama : Raden Ajeng Kartini
Raden Ayu Kartini
RA Kartini
Nama : Raden Ajeng
Kartini
Lahir : Jepara, 21
April 1879
Jawa Tengah
Meninggal : Rembang,
17 September 1904
Jawa Tengah
Dikenang Karena :
Pemikirannya Untuk Memajukan Kaum Wanita
Agama : Islam
Suami : R.M.A.A Singgih
Djojo Adhiningrat
Ayah : Raden Mas
Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara saat itu)
Ibu : M.A Ngasirah
RA Kartini |
Putri
Sejati...
Putri
Indonesia
Harum Namanya
Wanita
harus pandai, berpendidikan dan berfikiran maju, tetapi harus tahu
kepandaiannya itu untuk apa, bukan untuk bersaing dengan kaum pria
tetapi justru bersinergi dengan suaminya dalam mendidik dan membesarkan
anak-anak mereka. Guna melahirkan generasi Islam dan generasi muda
penerus bangsa yang tangguh, cerdas serta tak terkalahkan oleh bangsa
lain. Sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju, kuat dan
makmur. Itulah inti ajaran dan pemikiran Kartini yang terkenal dengan
emansipasi wanita.
Assalamualaikum teman-teman...
Gimana kabarnya? Alhamdulillah
semua baik-baik saja. Eh aku mau nanya nich, semua pasti tau khan lagu diatas? Ya
iyalah pasti tahu. Dari anak TK sampai kakek nenek pasti hapal diluar kepala.
Yup itu adalah lagu Ibu Kita
Kartini yang sangat termashur. Kali ini aku akan menulis sejarah RA Kartini
secara lengkap.
Pastinya semua perempuan
Indonesia merasa berhutang budi pada beliau, jika tidak ada ibu RA Kartini
mungkin semua perempuan Indonesia sampai saat ini masih sangat terbelakang.
Kegiatannya hanya meliputi 3R saja yaitu dapur, sumur, kasur.
Karena RA Kartini-lah perempuan
Indonesia bisa bersekolah sampai setinggi-tingginya. Karena beliau derajat
perempuan Indonesia bisa sama dengan laki-laki.
Dahulu, khususnya masyarakat
jawa menganggap perempuan hanya sebagai pendamping hidup kaum adam. Tidak boleh
belajar baca tulis, tidak boleh memegang peran di masyarakat. Intinya mereka
hanya mengurus suami, anak dan rumah. Walau begitu mereka semua menerima saja
‘nriman’. Tak terpikir pada mereka jika hal itu dibiarkan terus maka akan
menjadi kebodohan bagi diri mereka sendiri yang pada akhirnya juga menjadi
kebodohan bagi bangsa ini karena wanita adalah tiang negara. Jika cerdas wanita
maka cerdas pula negara, tetapi jika bodoh wanita maka bodoh negara. Mengapa
bisa begitu? Apa kaitannya. Tentu saja sangat erat, bukankah wanita-lah yang
melahirkan dan mendidik generasi penerus bangsa.
Orang tua RA Kartini-pun
menganut budaya kolot seperti itu. RA Kartini dilahirkan pada tanggal 21 April
1879 di Jepara Jawa Tengah. RA Kartini adalah anak dari bangsawan Jawa yang
bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat,
bupati Jepara Jawa Tengah yang masih ada keturunan dengan Sri
Sultan Hamengkubuwana VI. Sedangkan ibunya bernama M.A.Ngasirah, anak dari
pasangan Nyai Hajah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono yang berprofesi sebagai
guru agama di Telukawur, Jepara. Berarti Raden Ajeng Kartini adalah keturunan
seorang priyayi.
Karena anak dari bangsawan
Jawa, RA Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School)
tetapi hanya sampai usia 12 tahun. Akan tetapi ini tidak berlaku bagi perempuan
rakyat biasa. Beruntunglah Kartii bisa berbahasa Belanda, membaca dan menulis.
Saat usia 12 tahun Kartini
tidak diperbolehkan lagi bersekolah. Ia harus tinggal dirumah karena harus di
pingit. Tetapi Kartini tidak putus asa. Walau di rumah, beliau tetaplah belajar
membaca dan menulis. RA Kartini memiliki banyak teman wanita yang berkebangsaan
Belanda, salah satunya adalah Rosa Abendanon. Kartini sering berkirim surat
dengannya. Dari nyalah Kartini mengerti pola berfikir wanita Belanda yang jauh
lebih maju. Kartini juga sering membaca koran, buku dan majalah yang menulis
tentang kemajuan berfikir masyarakat Eropa, khususnya perempuan. Dari situlah
Kartini mulai berfikir untuk mengangkat derajat kaumnya yaitu perempuan
Indonesia, tidak peduli rakyat biasa atau bangsawan. Semua perempuan Indonesia
harus sekolah, harus bisa membaca dan menulis sama seperti kaum lelaki.
Selain membaca koran dan
majalah, RA Kartini juga sering mengirim tulisannya serta hasil pemikirannya ke
majalah tersebut. Banyak tulisan Kartini yang dimuat di surat kabar itu.
Kartini juga sering bertukar pikiran dengan teman-teman perempuannya melalui
surat. Dan semua temannya mendukung pemikirannya.
Sekolah Kartini
Pada tanggal 12 November 1903
Kartini dinikahkan oleh orangtuanya dengan seorang bupati Rembang yang bernama
K.R.M. Adipati Aro Singgih Jojo Adhiningrat. Kartini adalah perempuan yang
cerdas. Ia lalu mengutarakan pemikirannya itu ke suaminya untuk mengangkat
derajat kaumnya dengan mendirikan sekolah perempuan. Suaminya adalah orang yang
bijak. Ia merestui dan mendukung keinginan istrinya.
Sekolah Kartini ini menempati
bangunan yang ada di timur pintu gerbang kompleks kantor bupati Rembang, saat
ini berfungsi sebagai gedung pramuka. Disanalah Kartini mengumpulkan para
wanita sekitar tak terkecuali dari kalangan rakyat biasa. I asendiri yang
mengajari mereka membaca dan menulis. Mulai dari mengeja hhuruf, angka sampai
bahasa Belanda.
Bagi Kartini mendapatkan
pendidikan adalah hak setiap orang, tak peduli pria atau wanita. Tak peduli
bangsawan atau rakyat biasa. Khususnya untuk wanita, perempuan adalah calon
ibu. Ia nantinya yang akan mendidik anak-anaknya. Jika ibunya bodoh mana
mungkin bisa menghasilkan keturunan yang pandai.
Sebenarnya sebelum menikah,
Kartini sempat mendapat beasiswa untuk bersekolah ke Belanda. Namun setelah dinasehati
oleh Nyonya Abendanon yang merupakan sahabat pena Kartini, akhirnya Kartini
memutuskan untuk sekolah di Betawi saja.
Tetapi niat untuk bersekolah di
Betawi pun pupus karena ia hendak dinikahkan. Banyak sahabat pena Kartini yang
menyesal akan hal itu. Bahkan Kartini pun menuangkan penyesalannya lewat
suratnya yang berbunyi "...Singkat dan
pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena
saya sudah akan kawin..."
Begitulah Kartini, ia memilih
mematuhi orang tuanya untuk dinikahkan. Namun saat setelah menikah dan suaminya
mendukung pemikirannya. Kartini menjadi sangat bersyukur. Betul, inilah yang
terbaik. Ia bisa terus menyatakan buah pikirannya dengan mendirikan sekolah
untuk wanita.
Sayangnya umur RA Kartini
tidaklah sepanjang pemikirannya. Pada usia 25 tahun tepatnya pada tanggal 13
September 1904 Kartini meninggal dunia saat melahirkan anak pertama dan
terakhirnya yaitu Soesalit Djojoadhiningrat. Jasad Kartini dimakamkan di desa
Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang Jawa Tengah.
Saat ini Sekolah Kartini tidak
hanya di Jawa Tengah saja, melainkan juga di Surabaya, Yogyakarta, Malang,
Madiun, Cirebon dan daerah-daerah lain di Indonesia.
Setelah RA Kartini meninggal
dunia, surat-surat Kartini dikumpulkan dan dibukukan oleh Nyonya Abendanon yang
merupakan sahabat pena Kartini. Surat-surat tersebut diberi judul “Door Duisternis tot Licht”
yang memiliki makna “Dari Kegelapan Menuju Cahaya” atau habis gelap
terbitlah terang.
Karena
pemikirannya dan tindakan konkretnya walau belum tuntas itu Kartini diangkat
menjadi Pahlawan Nasional dan hari lahirnya yaitu 21 April dijadikan sebagai
hari Kartini yang merupakan hari libur nasional. Banyak dari kita memperingatinya
dengan memakai baju daerah ke sekolah. Y a.. bolehlah itu. Asal jangan menghilangkan
semangat RA Kartini dalam memperjuangkan hak-hak kaum wanita untuk memperoleh
pendidikan yang sama dengan kaum pria, demi tercapainya bangsa yang cerdas.
Sebenarnya
selain RA Kartini ada banyak lagi Pahlawan Nasional perempuan Indonesia seperti
Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Christina Marthatiahahu dan banyak
lagi. Ada yang berjuang dengan senjata ada pula melalui pendidikan dan
organisasi. Mereka semua memperjuangkan nasib Indonesia agar menjadi negara
yang cerdas, merdeka, makmur dan maju.
Kita
semua patut berterima kasih pada mereka. Karena merekalah yang telah
memperjuangkan Indonesia, juga termasuk memperjuangkan diri kita saat ini.
Bayangkan aja jika tidak ada mereka, mungkin saat ini kita masih dijajah, kita
masih terbelakang, kaum wanitanya bodoh-bodoh dan tentu saja generasi
penerusnya juga bodoh-bodoh. Yang berarti bangsa ini juga masih terjajah,
terbelakang dan bodoh.
“Bangsa Yang Besar
adalah Bangsa Yang Menghargai Jasa Para Pahlawannya”. Ayo kita semua bangsa
Indonesia harus tahu diri dan tahu berterima kasih kepada para pahlawan kita
dengan meneruskan perjuangan mereka memajukan Indonesia.
Kartini dan Islam
Kartini
adalah anak keturunan bangsawan Jawa dari ayahnya dan anak keturunan Kyai dan
Nyai (sebutan orang jawa untuk orang yang mengerti Islam). Tentu saja kehidupan
Kartini sangat kental dengan Islam dan Jawa. Namun interaksi Kartini dengan
Islam malah membuatnya hampir membenci Islam itu sendiri, karena dia mengenal
Islam sebagai perpaduan dengan budaya Jawa yang dianggap sebagai Islam, bukan
Islam yang murni dan benar.
Pernah
suatu ketika Kartini diwajibkan untuk menghafal Al Qur’an namun Kartini
menyakan apa makna dari hapalan yang ia lakukan barusan. Guru mengajinya
menjawab dengan kalimat “ Al Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan kedalam
bahasa asing”. Tetapi jika ia malas menghapal Al Qur’an, maka ia akan dimarahi.
Dongkollah hati Kartini mendengar jawaban guru ngajinya. Bagaimana mungkin ia
harus menghafal kata demi kata kata dari Al Qur’an tanpa boleh ia tahu
maksudnya. Bagaimana ia bisa memahami Al qur’an? Bagaimana ia bisa memahami
Islam yang sebenarnya?
Kehidupan
RA Kartini dapat di golongkan kedalam tiga fase yaitu saat ia belia dimana ia
semangat sekali menyuarakan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
terutama dalam mendapat pendidikan yang setara. Fase kedua adalah saat beranjak
dewasa yaitu ketika dia sadar bahwa bangsanya tengah dijajah oleh Belanda.
Disitu baru ia menyadari bahwa teman pena yang selama ini ia percaya seperti Ny
Abendanon dan lainnya tidaklah boleh sepenuhnya dianggap teman karena mereka
berasal dari kaum penjajah. Dan fase ketiga adalah setelah pernikahannya sampai
menjelang ajalnya, saat ia diberi hadiah Al Qur’an terjemahan bahasa Jawa oleh
seorang Kyai, ia jadi sadar akan keindahan Al Qur’an dan ajaran Islam serta ia
jadi sadar bahwa kemajuan masyarakat barat yang selama ini ia kagumi dan ia
jadikan kiblat ternyata hanyalah omong kosong.
Hal
ini termaktub dalam surat-surat RA Kartini kepada teman-teman Belandanya
seperti Ny Abendanon dan teman-teman penanya yang lain sebagai berikut.
“Mengenai agamaku Islam,
Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya
mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena
nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak
mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh
diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti
bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa
yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi
tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau
mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi
tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi
orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah
begitu Stella?†[Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu
apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar
menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti
artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah
kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab
yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.
[Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902]
Suatu
keberanian dan kekritisan yang luar biasa untuk ukuran zaman dahulu
mempertanyakan tentang hal sedalam itu apalagi tentang Keyakinannya. Hal itu
menunjukkan bahwa RA Kartini adalah wanita yang sangat cerdas dan berani.
Suatu
ketika Kartini mengikuti pengajian dirumah pamannya. Pengajian itu dibawakan
oleh Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar (Kyai Sholeh Drajat). Pengajian itu
membahas tentang terjemahan surat Al-Fatihah. Kartini sangat takjub dengan
kandungan surat Al Fatihah yang begitu indah. Inilah yang dicari Kartini selama
ini.
Setelah
pengajian berakhir, Kartini memberanikan diri untuk menemui Kyai Sholeh Drajat
dengan ditemani pamannya yang tak lain adalah bupati Demak yaitu Pangeran Ario
Hadiningrat. Pada Kyai Sholeh Drajat Kartini bertanya suatu hal.
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila
seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”
Terheran
Kyai Sholeh mendengar pertanyaan Kartini.
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Ganti Kyai Sholeh bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan
arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan
sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku
heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras
penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu
justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Mendengar
jawaban Kartini tergugahlah hati Kyai Sholeh Drajat untuk menerjemahkan Al
Qur’an dalam bahasa Jawa (Saat itu Bahasa Indonesia belum menjadi Bahasa
persatuan sehingga tiap daerah lebih memahami jika menggunakan bahasa daerah
masing-masing). Dan pada saat Kartini menikah, Kyai Sholeh Drajat
menghadiahinya terjemahan Al Qur’an jilid 1 yaitu berisi 13 juz mulai dari
surat Al Fatihah sampai surat Ibrahim.
Sangat
disayangkan sekali sebelum Kyai Sholeh menyelesaikan terjemahan Al Qur’annya,
beliau keburu wafat.
Dari
terjemahan itulah Kartini mulai memperdalam Islam. Kartini semakin takjub akan
kebenaran Islam. Dari orang yang meragukan kebenaran Islam dan lebih
mengagung-agungkan peradaban barat, kini ia menjadi orang yang sangat mengagumi
Islam dan mulai sadar bahwa barat adalah bukan suatu peradaban. Banyak
kepincangan-kepincangan yang tersembunyi di situ.
Hal ini tercermin
dari surat-suratnya kemudian.
“Sudah
lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar
satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu
sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa
dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama
sekali tidak patut disebut sebagai peradaban? [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27
Oktober 1902]
“Kami
sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang
setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan. (surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 10 Juni 1902)
Kartini juga sangat
tidak menyukai praktek Kristenisasi yang waktu itu digalakkan hal ini tercermin
dari surat kartini pada EE Abendanon tanggal 31 Januari 1903. Bahkan Kartini
bertekad untuk memperbaiki citra Islam yang selama ini dijadikan sasaran fitnah
bagi orang-orang barat.
“Bagaimana
pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa
semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? Bagi orang
Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa
yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan
orang. Mungkinkah itu dilakukan?”
“Moga-moga
kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama
Islam patut disukai.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].
Kartini juga
menyampaikan penyesalannya selama ini salah menilai Islam. Hal ini terungkap
dari surat-suratnya sebagai berikut.
“Astaghfirullah,
alangkah jauhnya saya menyimpang.” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 5 Maret
1902)
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah (Abdulloh).” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 1 Agustus 1903)
“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Alloh, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.” (surat Kartini kepada Nyonya Abandanon, 1 Agustus 1903)
“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia pun ia sebenar-benarnya bebas.” (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober 1900)
Diantara ayat-ayat
AlQur’an yang di pelajarinya, Kartini paling suka Surat Al Baqarah ayat 257
yang berarti ALLOH-lah yang membimbing jalan manusia dari kegelapan menuju
cahaya. Kartini sering sekali mengulang kalimat Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari kegelapan
menuju cahaya, karena kalimat itu mewakili akan perjuangan dirinya selama ini.
Dalam surat-suratnya
Kartini sering mengulangi kata itu. Surat Kartini kebanyakan menggunakan bahasa
Belanda. Kalimat Minazh-Zhulumaati
ilan Nuur beliau
tulis dengan bahasa Belanda pula yaitu Door Duisternis Tot Lich . Sayang sekali saat suratnya diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu oleh Armijn Pane kalimat Minazh-Zhulumaati ilan Nuur ditulis dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”
sehingga kehilangan makna yang sesungguhnya.
Sehingga saat surat-suratnya dibukukan, surat Kartini dinamakan “Habis
Gelap Terbitlah Terang”.
Sampai saat ini
banyak orang Indonesia yang tidak tahu khususnya umat Muslim bahwa kata “Habis
Gelap Terbitlah Terang” itu asalnya dari kekaguman Kartini akan salah satu ayat
Al Qur’an di surat Al Baqarah 257 yaitu kalimat Minazh-Zhulumaati ilan Nuur karena memang tidak pernah dibahas di pelajaran
sekolah dan buku-buku sejarah. Mungkin takut membangkitkan kekaguman dan
kebanggaan umat Islam terhadap agamanya, bisa jadi sejarah yang lain juga sengaja
dikaburkan dan dipisahkan dari Islam, padahal kita semua tahu bahwa mayoritas
warga negara Indonesia adalah orang Islam dan sejak dahulu perang melawan
penjajah selalu dimotori oleh ulama-ulama dan para santrinya. Kebanyakan
Pahlawan Nasional adalah ulama Islam seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia,
Pangeran Diponegoro, Sultan Agung, Pangeran Antasari dan banyak lagi.
(Wallohualam bis showab).
Berkaitan dengan
perjuangan Kartini, Kartini adalah Pahlawan Wanita Indonesia sekaligus Pahlawan
Nasional. Perjuangannya belumlah selesai. Kartini sudah berusaha keras keluar dari
kungkungan adatnya. Ingat yang menjadikan kaum wanita sebelum Kartini
terbelenggu adalah kungkungan adat yang begitu kental. Bukan karena ajaran
Islam. Walaupun sebagian besar dari mereka menganut Islam namun mereka banyak
yang belum faham arti dan makna kandungan Al Quran. Terbukti pada diri Kartini
saat ia tahu makna AlQuran, Ia jadi sadar bagaimana seharusnya wanita berperan
dalam kehidupan. Wanita harus pandai, berpendidikan dan berfikiran maju, tetapi harus
tahu kepandaiannya itu untuk apa, bukan untuk bersaing dengan kaum pria tetapi
justru bersinergi dengan suaminya dalam mendidik dan membesarkan anak-anak
mereka. Guna melahirkan generasi Islam dan generasi muda penerus bangsa yang
tangguh, cerdas serta tak terkalahkan oleh bangsa lain. Sehingga bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang maju, kuatdan makmur. Itulah inti ajaran dan
pemikiran Kartini yang terkenal dengan emansipasi wanita.
Bukan seperti
masyarakat barat yang memandang emansipasi wanita dengan menjadi saingan pria
atau suami sehingga para wanita berlomba untuk bekerja di luar rumah. Berusaha
menunjukkan bahwa dirinya kuat dan bisa mengalahkan pria bukanlah emansipasi
wanita, tetapi malah menjerumuskan wanita itu sendiri.
Wanita jadi kehilangan fitrahnya sebagai wanita, kehilangan sifat keibuannya, kehilangan sifat lemah-lembutnya. Dan akhirnya yang terjadi adalah banyak anak terbengkalai, banyak rumah tangga cerai karena salah tafsir akan arti emansipasi. Dan jika di runut maka yang akan terjadi adalah rusaknya masyarakat dan tentunya rusaknya bangsa. Naudzubillah.
Biodata RA Kartini
Wanita jadi kehilangan fitrahnya sebagai wanita, kehilangan sifat keibuannya, kehilangan sifat lemah-lembutnya. Dan akhirnya yang terjadi adalah banyak anak terbengkalai, banyak rumah tangga cerai karena salah tafsir akan arti emansipasi. Dan jika di runut maka yang akan terjadi adalah rusaknya masyarakat dan tentunya rusaknya bangsa. Naudzubillah.
Biodata RA Kartini
Nama : Raden Ajeng Kartini
Raden Ayu Kartini
RA Kartini
Nama : Raden Ajeng
Kartini
Lahir : Jepara, 21
April 1879
Jawa Tengah
Meninggal : Rembang,
17 September 1904
Jawa Tengah
Dikenang Karena :
Pemikirannya Untuk Memajukan Kaum Wanita
Agama : Islam
Suami : R.M.A.A Singgih
Djojo Adhiningrat
Ayah : Raden Mas
Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara saat itu)
Ibu : M.A Ngasirah
SOCIALIZE IT →